Selasa, 16 April 2013

wawasan nusantara

WAWASAN NUSANTARA
            Kehidupan manusia di dunia mempunyai kedudukan sebagai hamba Tuhan YME dan sebagai wakil Tuhan (khalifullah) di bumi yang menerima amanat-Nya untuk mengelola kekayaan alam.

            Manusia dalam melaksanakan tugas dan kegiatan hidupnya bergerak dalam dua bidang universal filosofis dan sosial politis. Di bidang universal filosofis trasenden dan idealistik, sedangkan bidang sosial politis bersifat imanen dan realistis yang bersifat lebih nyata dan dapat dirasakan. Sebagai negara kepulauan dengan masyarakatnya yang ber-bhinneka, negara Indonesia memiliki unsur-unsur kekuatan dan kelemahan.
            Kekuatannya terletak pada posisi dan keadaan gegrafis yang strategis dan kaya sumber daya alam. Kelemahannya terletak pada wujud kepulauan dan keanekaragaman masyarakat yang harus disatukan dalam satu bangsa dan satu tanah air.

Pengertian Wawasan Nusantara
            Cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan geografi wilayah nusantara yang menjiawai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan atau cita-cita nasional.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Wawasan Nusantara
            1. Wilayah.
            2. Geopolitik dan Geostrategi.
            3. Perkembangan wilayah Indonesia dan dasar hukumnya.



Unsur-unsur Dasar Wawasan Nusantara
            1. Wadah
                Wawasan Nusantara sebagai wadah meliputi 3 komponen :

                a. Wujud Wilayah
                        Batas ruang lingkup wilayah nusantara ditentukan oleh lautan yang di dalamnya                    terdapat gugusan ribuan pulau yang saling dihubungkan oleh dalamnya perairan. Oleh                         karena itu nusantara dibatasi oleh lautan dan daratan serta dihubungkan oleh perairan                     dalamnya. Sedangkan secara vertikal ia merupakan suatu bentuk kerucut terbuka                       keatas dengan titik puncak kerucut di pusat bumi.
                Letak geografis negara berada di posisi dunia anatar 2 samudra, yaitu pasifik dan                           samudera hindia dan antara dua benua, yaitu asia dan australia. Letak geografis ini                            berpengaruh besar terhadap aspek-aspek kehidupan nasional Indonesia. Perwujutan                        wilayah nusantara menyatu dalam kesatuan politik, ekonomi, sosial-busaya dan                 pertahanan keamanan.

b. Tata Inti Organisasi
                        Bagi Indonesia. Tata inti organisasi negara berdasarkan pada UUD 1945 yang                         menyangkut bentuk dan kedaulatan negara, kekuasaan pemerintah, sistem                               pemerintahan, dan sistem perwakilan.
                        Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Kedaulatan                     berada di tangan rakyat yang sepenuhnya oleh majelis Permusyawaratan Rakyat                     (MPR).
                        Sistem pemerintahannya menganut sistem presidensial. Indonesia merupakan                          Negara Hukum (Rechk Staat) bukan hanya kekuasaan.

c. Tata Kelengkapan Organisasi
                        Isi wawasan nusantara tercermin dalam perspektif kehidupan manusia Indoensia                     dalam eksistensinya yang meliputi :
                        a)  Cita-cita bangsa Indonesia tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
                                    - Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
                                    - Rakyat Indonesiayang berkehidupan kebangsaan yang bebas.
                                    - Pemerintahan negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia                                            dan seluruh tumpah darah Indonesia.
                        b)  Asas keterpaduan semua aspek kehidupan nasional berciri manunggal.
                                    - Satu kesatuan wilayah nusantara mencakup daratan, perairan dan                                                    dirgantara.
                                    - Satu kesatuan politik.
                                    - Satu kesatuan sosial budaya.
                                    - Satu kesatuan ekonomi, atas asas usaha bersama.
                                    - Satu kesatuan pertahanan dan keamanan.
                                    - Satu kesatuan kebijakan nasional.

            2. Tata Laku Wawasan Nusantara Mencangkup Dua Segi
                a. Tata laku batinia
                        Wawasan Nusantara berlandaskan pada falsafah Pancasila untuk membentuk                             sikap mental.
                b. Tata laku lahiriah
                        Wawasan Nusantara diwujudkan dalam satu sistem organisasi meliputi :                                      perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengadilan.

Implementasi Wawasan Nusantara
            3. Wawasan Nusantara sebagai pancaran falsafah Pancasila.
            4. Wawasan Nusantara dalam pembangunan nasional.
                a. Perwujudan kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan politik.
                b. Perwujudan kepulauan Nusantara sebagai kesatuan ekonomi.
                c. Perwujudan kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan sosial budaya.
                d. Perwujudan kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan pertahanan keamanan.
            5. Penerapan wawasan Nusantara.
            6. Hubungan wawasan Nusantara.Keesimpulan
                        Jadi wawasan Nusantara adalah sebagai cara pandang bangsa Indonesia mengenal diri dan tanah air sebagai negara kepulauan dari berbagai aspek kehidupan.

Perdagangan Manusia

tema : hak asasi manusia

Perdagangan Manusia dan Kerentanan Perempuan November 22, 2012

Posted by Athiqah Nur Alami in Uncategorized.
trackback
Image
Perdagangan manusia (trafficking) melalui jalur migrasi telah menjadi salah satu bentuk kejahatan transnasional yang marak dalam dekade ini. Dari segi kuantitas, jumlah korban trafficking menunjukkan angka yang mengerikan.
Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) memperkirakan korban perdagangan perempuan berkisar antara 700,000 hingga dua juta orang setiap tahunnya. Bureau of Public Affairs US Department of State dalam laporannya tahun 2003 menyebutkan bahwa setiap tahunnya sebanyak 800.000 – 900.000 manusia telah diperdagangkan dengan tujuan memasok pasar industi seks dan pasar tenaga kerja murah. Tidak hanya marak dari segi kuantitas, nilai transaksi kejahatan trafficking juga  menggiurkan. PBB memperkirakan pemasukan setiap tahun dari industri ini mencapai US$7 milyar. Bahkan trafficking diyakini sebagai sumber pemasukan ketiga terbesar dari aktivitas kejahatan transnasional, setelah narkotika dan penjualan senjata api. Sementara itu kawasan Asia Tenggara merupakan sumber dari sepertiga kasus trafficking global. Angka di atas menunjukkan bahwa meskipun perdagangan manusia bukan merupakan fenomena baru, trend global menunjukkan peningkatan kasus trafficking setiap tahunnya dan perempuan merupakan korban terbanyak perdagangan manusia. Lalu bagaimana memotret kerentanan perempuan dalam persoalan perdagangan manusia?.
Viktimisasi Perempuan
Secara global, korban perdagangan manusia beragam mulai dari perempuan, laki-laki, remaja, anak perempuan hingga bayi. Namun perempuan masih menempati jumlah dengan porsi terbesar sebagai korban trafficking. Hal ini menujukkan adanya viktimisasi (victimization) perempuan sebagai korban dalam persoalan perdagangan perempuan. Namun perlu dipahami bahwa persoalan perdagangan perempuan termasuk dalam fenomena gunung es, dimana angka yang tidak terlihat jauh lebih banyak daripada yang terlihat di permukaan. Maksudnya adalah pendataan terhadap korban trafficking hanya dapat dilakukan jika ada tindakan pelaporan dari korban maupun keluarga korban. Sementara dalam realitanya persoalan trafficking yang tidak dilaporkan jauh lebih besar. Selain itu perbedaan persepsi antara para pemangku kepentingan di pemerintahan dalam memaknai trafficking, misalnya antara kepolisian, disnaker, keimigrasian, menjadi persoalan dalam pendefinisian korban trafficking. Seringkali delik hukum yang dikenakan untuk kasus trafficking berhimpitan dengan persoalan penempatan tenaga kerja. Akibat dari berbagai persoalan tersebut. pendataan tentang korban trafficking mengalami kendala akurasi dan validitas. Data korban trafficking yang dihimpun oleh berbagai pemangku kepentingan tersebut pada akhirnya mengalami perbedaan.
Isu viktimasi terhadap perempuan sebagai korban trafficking juga terjadi ketika viktimisasi dilakukan melalui tindakan mengkriminalkan aktivitas migrasi perempuan yang sejatinya dilakukan sebagai strategi untuk bertahan hidup. Perempuan migran dianggap sebagai pelaku kriminal karena bermigrasi dengan cara dan prosedur yang illegal. Terkait dengan hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa kasus perempuan calon migran mengetahui atau menyetujui proses migrasi illegal yang terjadi, misalnya pemalsuan usia dan status untuk dokumen keberangkatan. Namun di sisi lain, tidak sedikit juga migran perempuan yang berangkat secara legal namun dalam perjalanan mereka diselundupkan dan diperdagangkan. Perempuan migran dengan karakteristik inilah yang lebih tepat disebut sebagai korban trafficking.
Persoalan kerentanan perempuan inilah yang kemudian menjadi hal penting lainnya dalam melihat persoalan perdagangan perempuan sebagai bagian dari fenomena globalisasi. Perempuan dan laki-laki, khususnya migran mempunyai pengalaman berbeda dalam menghadapi dan merespons persoalan perdagangan perempuan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kerentanan (vulnerability) yang mereka miliki, yang diantaranya dikarenakan konsekuensi dari kebijakan yang diskriminatif. Kerentanan perempuan sebagai korban trafficking disebabkan oleh sejumlah faktor. Salah satunya terkait dengan adanya praktek-praktek sosial budaya di masyarakat yang diskriminatif terhadap perempuan sehingga menjadikan mereka termarginalisasi dalam berbagai sektor, baik ekonomi, sosial dan pendidikan. Mitos kawin muda atau kawin paksa, yang terjadi di berbagai negara menjadikan perempuan terbatas dalam memanfaatkan kesempatan ekonomi dan pendidikan. Dalam usia yang relatif muda, para perempuan sudah harus berkutat dengan pekerjaan domestik yang membatasi mobilitasnya. Akibatnya, perempuan cenderung miskin dan tidak berpendidikan.
Komodifikasi Perempuan
Faktor lain yang meningkatkan kerentanan perempuan sebagai korban trafficking dalam konteks globalisasi adalah adanya persepsi di daerah/negara tujuan bahwa perempuan adalah komoditi yang dapat dipertukarkan dan diperjualbelikan. Isu komodifikasi perempuan sebenarnya bukanlah isu baru. Isu ini telah berkembang paada awal era class-divided society. Pada era yang ditandai dengan perkembangan kapitalisme global, suatu sistem yang mendasarkan pada produksi komoditas, menjadikan persoalan perdagangan perempuan semakin marak. Persepsi bahwa perempuan sebagai komoditi semakin menguat seiring dengan maraknya industri hiburan dan seks. Perempuan dan anak-anak dijadikan komoditas seksual yang dapat diperjualbelikan dengan dipekerjakan sebagai model, bintang film dan wanita penghibur di bar atau restoran. Akibatnya industri seks, prostitusi dan pornografi berkembang pesat dan meraup untung milyaran dolar.
Komodifikasi perempuan terutama sebagai objek seks muncul seiring dengan filosofi laissez-fair dan neoliberalisasi yang dikandung oleh globalisasi. Filosofi tersebut menekankan pada konsep marketisasi, konsumerisme dan individualisme sebagai cirinya. Ketiga konsep tersebut menghasilkan logika bahwa segala hal dapat dikomersilkan dan dikomoditikan, termasuk perempuan. Ini menunjukkan bahwa jenis pekerjaan tersebut menekankan penggunaan femininitas dan seksualitas untuk meraup keuntungan. Dengan tujuan membayar hutang, beberapa negara di Asia, Amerika Latin dan Afrika didorong oleh organisasi internasional seperti IMF dan Bank Dunia untuk mengembangkan berbagai industri yang menstimulasi perkembangan industri seks tersebut.  Hal tersebut menunjukkan komodifikasi perempuan melalui prostitusi telah menjadi strategi pembangunan industri turisme dan hiburan di beberapa negara.
Potret kerentanan perempuan dalam isu perdagangan manusia sebagai konsekuensi globalisasi di atas menunjukkan bahwa aktivitas migrasi internasional saat ini lebih kompleks sehingga rentan terhadap peluang terjadinya perdagangan manusia, khususnya perempuan. Sebagai pihak yang rentan terhadap pengaruh globalisasi, perempuan telah menjadikan migrasi sebagai pilihan untuk bertahan hidup. Persoalannya, aktivitas migrasi perempuan yang mendorong terjadinya feminisasi migrasi seringkali tidak berjalan sesuai prosedur sehingga dimanfaatkan oleh sindikat kejahatan transnasional. Kondisi ini semakin kompleks ketika perempuan sendiri telah menjadi pihak yang rentan sebagai korban kejahatan (viktimisasi), akibat perlakuan marginalisasi di keluarga dan masyarakat serta persepsi yang berbeda di daerah tujuan migrasi akan komodifikasi perempuan. Akibat berbagai hal tersebut, perempuan telah menjadi korban kejahatan perdagangan manusia yang sebenarnya melanggar hak asasi manusia. Kejahatan tersebut telah merenggut hak untuk merdeka dan mencari penghidupan yang layak sekaligus berpotensi mendorong terjadinya kekerasan berbasis gender dalam keluarga. Berbagai hal di atas menunjukkan bahwa globalisasi, migrasi dan perdagangan perempuan bukanlah fenomena yang netral gender, melainkan fenomena yang mempengaruhi diskursus ideologi gender, relasi gender dan posisi perempuan di tengah sistem ekonomi politik dunia yang hegemon dan maskulin.